Hilang

Pagiku berkelana tanpa pasti. Mengikuti jalan tanpa ranah nan sedih.
Dan kukubur diriku.
Menutup sukmaku.
Menghilangkan memori tercampur ilusi.

Belatung memakan ragaku, dan tak ada emosi.

Terkikis,mati,memuai,dan hilang.

Diriku hilang.

Tercampur obat, maka diriku busuk.

Tercampur borok, diriku membusuk.

Tercampur nafsu, kepuasan tanpa hati.

Diriku hilang.

Mana saya tahu

Mana saya tahu hidup akan segila ini.

Mana saya tahu tutur sekotor ini.

Mana saya tahu kau menyetubuhi jiwa ini.

Mana saya tahu.

Mana saya tahu rasa sepahit ini.

Mana saya tahu binalnya kota ini.

Mana saya tahu otak serumit ini.

Mana saya tahu.

Mana saya tahu raga bisa tahan.

Mana saya tahu terkurung secara laknat.

Mana saya tahu sendiri yang abadi.

Mana saya tahu.

Berduri

Saat ini Kintan sedang jatuh cinta. Pada sang pujangga yang cukup tenang. Wajahnya bagai lantunan senja. Hangat menerpa setiap rupa.

Cinta benar adanya. Benar adanya. Benar rasanya. Indah, sungguh terangsang jiwanya.

Sudah berjalan 8 bulan, sungguh. Indah. Walau dia, sang pujangga adalah sosok yang rupawan. Tapi, Kintan cukup terluka.

Tak diketahui banyak khalayak, pujangga memangsa, sedikit demi sedikit, menggerogoti hati Kintan hingga berlubang.

Hatinya terperas, hingga tak bersissa. Jiwanya terbebat, durinya begitu tajam. Belati menghunus, melalui otaknya. Hingga hilang akal, hilang hidupnya.

Kintan bertahan padanya, untuk hirupan derita. Karena Kintan terpedaya, oleh fana asmara.

Kintan tak bisa lepas, pergi ke angkasa.

Dan Kintan,

Mengubur dirinya. Bersama tanah terbumbu hujan.