Imbang

Sesaat itu duniaku bergemuruh akan kerasnya badai yang menerpa. Nyaliku begitu luput dan terbawa hujan.Sungguh, nestapa betul labuhan sukma dan menunggu hancurnya dengan seksama.

Tetapi saat itu,adam datang.Silau-silau meringkuk di tengah-tengah awan gelap. Dan perlahan-lahan, sinar matahari menyergap. Menyentuh kulitku yang kemudian berselimut hangat.

Pada barisan peristiwa itu, sungguhlah jika sang adam adalah seorang pujangga yang didamba. Mentari menjadi pendukung terbaiknya. Sehingga kala itu,malam jaranglah muncul. Seakan malu akan terlalu terangnya sebuah suasana.

Aku yang saat itu terbuai dengan cerahnya, tiba-tiba dipanggil bulan. Ia bertanya, apakah adam saja cukup?  Dan seketika aku terkesiap.Karena sungguh, aku merasa ada sesuatu yang salah. Namun tetap kuabaikan.

Keesokannya, bulan kembali datang. Ia bertanya, apakah adam tidak terlalu lama? Dan kemudian ia menunjukkan bunga-bunga yang layu akibat panasnya udara dan tak bisa merasakan indahnya malam.

Dan aku berpikir.Dan aku putuskan.

Aku harus bersama keduanya. Bulan dan adam.

f4d2fa8b30a5697b39a9abb67780ee12
-pinterest-

Bulan merasa puas dengan jawabanku. Seakan tidak apa-apa aku bersama dengannya sekaligus adam. Sungguh aku tak mengerti, apa dia sungguh tidak apa-apa. Sedangkan adam, sungguh adam. Dia begitu santai.

Apakah tamakku ini benarkah? Bulan berkata bahwa ini baik adanya. Baik untuk diriku, untuk dirinya, dan adam. Dan juga buana.

Supaya gelap sekaligus terang. Supaya hangat sekaligus dingin. Supaya sedih sekaligus senang. Supaya rindu sekaligus benci.

8 respons untuk ‘Imbang

Tinggalkan komentar